click to generate your own text

TERJEMAHAN

MENU TANBAHAN

ARSIP BLOG

PENGIKUT

Pengunjung

PESAN

Diberdayakan oleh Blogger.
Sabtu, 05 Desember 2015
Cerpen :


ANTARA JODOH DAN DIJODOHKAN
 Karya : Jauhilmeyah dan St Maimunah

            Liburan panjang telah tiba . Alfin yang sudah sejak lama menanti liburan panjang kini sudah lega hatinya. Dia sudah merasa terbebas dari beban tetek bengek yang berkaitan dengan tugas-tugas sekolah. Kesempatan yang baik ini dia berencana untuk berlibur ke rumah kakeknya yang berada di pedesaan. Dia sudah merasakan kejenuhan di kota.  Sehari-hari dia bergelut dengan suasana kota yang semakin lama semakin bising.  Maklum, sekolah dia juga di kota, tepatnya di SMA Negeri 6 Surabaya.  Padahal orangtuanya juga berasal dari desa. Namun dia dilahirkan dan dibesarkan di kota.  Hanya sesekali dia berkunjung ke desa. Itupun  kalau tidak diajak orangtuanya berlibur ke ibu kota, ke saudara ayahnya di Jakarta.
            Setelah menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan dia pun berangkat dengan menggunakan sepeda motornya. Perjalanan menuju rumah kakeknya membutuhksn waktu kurang lebih tiga jam atau sekitar 165 km.
            Beberapa lama kemudian akhirnya dia sampai ke rumah kakeknya. Semua keluarga di rumah kakeknya menyambutnya dengan senang hati. 
            “Kamu hanya sendirian ?” tanya sang kakek dengan nada senang.
            “Ya, Kek.  Ayah dan ibu masih sibuk,” jawab Alfin.
            “Bagaimana kabar di rumahmu?” lanjut kakeknya,
            “Baik-baik, Kek. Oh ya ada salam dari ibu,  ini dari ibu,” kata Alfin sambil memberikan sebuah amplop dan menyalami semua yang ada di situ.
            “Oh ya, terima kasih,” kata kakeknya.
            Sebagai seorang anak kota , Alfin merasa bahwa dirinya tampak gaul, keren, dan lebih pintar dibandingkan dengan anak-anak di desa lainnya. Di desa tempat kakeknya tinggal ia ditemani oleh adik sepupunya yang bernama Sofyan. Sofyan sangat senang apabila Alfin datang berlibur di desa itu.  Umur Sofyan hampir sebaya dengan Alfin. Tapi Sofyan dilahirkan dan dibesarkan di desa. Sekolahnya pun mulai SD di desa. 
Baca selengkapnya

            Karena dia ingin menikmati indahnya  pemandangan yang ada di desa itu, akhirnya dia mengajak Sofyan untuk menemaninya berkeliling desa. Merekapun berangkat dengan mengendarai sepeda motornya.
            Di tengah perjalanan , Alfin mau menambah bensin sepeda motornya.  Dia berhenti di  sebuah toko kecil yang juga berjualan bensin eceran. Saat itu tatapan matanya terpanah pada seorang gadis yang  berjilbab putih. Kebetulan gadis itu sedang beli-beli di toko itu.  Alfin langsung terpikat hatinya ketika menatap gadis itu. Sebenarnya gadis itu biasa-biasa saja.  Tidak ada yang istimewa. Hanya dia memakai kerudung putih.  Maklum, gadis itu masih tergolong anak yang taat beragama. Orangtuanya juga terkenal alim di desa itu.  Remaja cowok di desa itu tidak ada yang berani mendekat dengan gadis itu. Mereka sungkan dengan kealiman orangtuanya.
            Sebenarnya banyak anak kota yang mungkin wajahnya lebih cantik dari gadis ini.  Termasuk teman sekelas Alfin banyak yang cantik. Namun mengapa dari deretan gadis yang dia kenal di kota tak seorang pun yang memikat hatinya. Dia menganggapnya hanya sebagai teman biasa. Tidak ada yang sempat meluluhkan hatinya.
            “Sof ,” kata Alfin pada Sofyan dengan suara pelan hampir tak kedengaran. Matanya masih belum teralih memandangi gadis manis itu.
            “Siapa anak itu?” lanjutnya sambil menunjuk ke arah anak gadis itu.
            “Oh… Dia itu Aisyah putri pak Haji Jarwo,” jelas Sofyan.
            “Di mana rumahnya?” tanya Alfin semakin penasaran.
            “Tidak jauh dari desa ini,” jawab Sofyan.  “Dia memang dikenal gadis yang cantik di sini.  Banyak anak yang naksir, tapi mereka tidak berani mendekatinya.”
            “Kenapa?” tanya Alfin semakin menambah rasa penasaranya.
Alfin yang penasaran langsung  menghampirinya .
            “Maaf,  Adik beli apa ?” sapa Alfin memberanikan diri.  Gadis itu hanya menoleh malu.
Sepertinya ada yang janggal pada hati gadis itu.  Sebab seingatnya belum ada cowok yang  pernah memanggil adik pada dirinya. Lama Aisyah tidak merespon pertanyaan Alfin. Dia masih menghitung uang kembalian yang diterimanya.
            “Beli apa, Nun ?” tanya Alfin dengan mengubah sapaan adik menjadi nun.
            “Garam,” jawab Aisyah dengan suara khasnya rada malu. Lalu Aisyah pergi meninggalkan tempat itu. Alfin semakin penasaran, ingin hatinya bertanya lebih banyak. Ingin rasanya dia mengenal lebih dalam.  Namun Aisyah sepertinya bukan seorang gadis yang seperti diharapkan  Alfin. Apa lagi menurut cerita sofyan Aisyah memang sulit didekati.
            “Aisyah itu bukan wanita sembarangan, orangnya memang galak tapi sebenarrnya dia baik dan cantik. Dia itu tidak  suka  dengan pria yang tanpa berkenalan langsung berbasa-basi.”
            “Tapi aku kan hanya menyapa, apa salahnya?” jelas Alfin.
Alfin merasa heran karena biasanya di Surabaya semua gadis yang melihatnya langsung merasa tertarik, tapi kenapa wanita yang ia temui tadi tidak bisa ia rayu. Alfin memang memiliki wajah yang tampan, tinggi semampai. Jadi tidak heran apabila hampir semua wanita yang melihatnya, pasti mengaguminya.
            Lalu Alfin meneruskan perjalannya.  Dia berusaha melupakan apa yang telah dialaminya tadi. Dia juga berusaha melupakan wajah Aisyah yang sempat menyihir hatinya. Namun di perjalanan dia selalu digoda oleh bayangan wajah ayu Aisyah. Angannya melamun tidak karuan. Sempat sepeda motornya hampir nyrempet orang yang mengendarai sepeda kecil. Untung saja Sofyan melihatnya.
            “Awas …….., sepeda,” ingat Sofyan spontan.
            “Aduh, ya,” kata Alfin sembari menginjak rem sepeda motornya.
            Setelah beberapa lama kemudian mereka pulang , Alfin dan Sofyan pun menuju rumah kakeknya.
            Keesokan harinya Alfin berniat untuk menghirup udara segar sekalian berolahraga . Tidak disangka-sangka di perempatan jalan mereka bertemu untuk yang kedua kalinya , dan tampak ada yang berbeda dari penampilan Aisyah dari yang biasanya dan Alfin pun semakin menyukai Aisyah. Tanpa ragu  ia pun langsung menghampirinya.
             “Assalamualaikum, kamu Aisyah, kan ?”tanya Alfin.
            “Waalaikumsalam,  ya betul kamu siapa ? ”jawab Aisyah .
            “Namaku Alfin, maaf kemarin belum sempat berkenalan , oh ya,  kamu mau ke mana?”tanya Alfin.
            “Mau pulang, saya dari acara yang diadakan kampung sebelah, saya pergi dulu ya, Assalamualaikum”ujar Aisyah.
            ”Waalaikumsalam” jawab Alfin setengah kecewa.
            Aisyah pun pergi meninggalkannya dengan senyum manis dibibirnya dan Alfin membalasnya dengan senyuman juga. Entah kenapa dia selalu teringat Aisyah begitu juga dengan Aisyah. Dia sudah mulai memikirkan Alfin. Tapi cepat-cepat  ia menghilangkan perasaannya itu karena dia sudah rencana dijodohkan dengan anak teman abi-nya yang ada di kota. Maklumlah karena dia adalah seorang anak yang selalu menurut apa kata orangtuanya. Dia tidak pernah membantah atau menolak apa yang menjadi kehendak ortunya. Di dalam hati Aisyah terjadi dilema , entah siapa yang harus ia pilih , dijodohkan dengan orangtuanya atau memimlih Alfin yang sudah mulai ia sukai.
            Sementara itu, Alfin sudah sejak  pandangan pertama tertarik pada Aisyah. Tapi dia malu untuk mengungkapkan perasannya.  Dia itu merasa  di kota dengan di  desa tidak sama. Adat di kota dengan di desa sangat berbeda jauh, karena adat desa itu sangat ketat. Di desa  jarang ada anak yang berdua-duaan apalagi berpacaran. Ahkhirnya Alfin merasa takut untuk mengungkapkan perasaannya karena takut ditolak oleh Aisyah.
            Beberapa hari kemudian Alfin memberanikan diri, berencana untuk menemui Aisyah di masjid tempat ia belajar mengaji. Sesampainya di masjid , dia langsung menghampiri Aisyah yang sedang mengaji .
            “Assalamualaikum , maaf mengganggu sebentar,”sapa Alfin.
            “Waalaikumsalam , ya da perlu apa, ya?”tanya Aisyah.
             “Aku hanya ingin mengungkapkan perasaan yang sekarang aku rasakan , aku hanya ingin kamu tahu,” tegas Alfin.  
            “Perasaan apa?” tanya Aisyah penasaran. Karena baru pertama kali ini ada seorang cowok yang berani mendekati dirinya. Bahkan bukan hanya mendekati,  dia pun mau mengutarakan isi hatinya.
            “Sebenarnya aku menyukaimu sejak pertama kita bertemu.  Aku selalu memikirkkanmu . Aku gak bisa nahan perasaan ini lagi,”ujar Alfin.
            “A….. apakah kamu yakin itu? aku hanya seorang gadis desa, sedangkan kamu itu anak kota , pasti banyak gadis kota yang lebih cantik dari aku,” kata Aisyah mengelak. 
            “Aku tahu itu, meskipun  banyak gadis kota yang begitu cantik, namun aku tetap menyukaimu,” jelas Alfin.
            ”Sebenarnya aku juga menyukaimu, namun aku sudah terlanjur akan dijodohkan dengan anak teman baik abi-ku,” jawab Aisyah dingin.
            “Aku sebelumnya sebelumnya  sudah mengira kalau kamu punya tunangan. Sebab rata-rata anak desa kan banyak yang dijodohkan orangtuanya,” kata Alfin sok tahu.
            “Ya, tidak semua,“ elak Aisyah.
            “Maaf, ya kalau kehadiranku hanya melukai hatimu. Sekali lagi maafkan semua kelancanganku. Besok aku harus kembali ke kota,” ujar  Alfin dengan nada cemas campur hampa.
            “Benarkah  itu? Kalau begitu aku hanya bisa mengucapkan terima kasih karena kamu sudah mengungkapkan perasaanmu padaku,” seru Aisyah sambil meneteskan air mata.
            “Cinta memang tak harus memiliki, kalau kita memang berjodoh, pasti kita akan dipertemukan di waktu yang tidak di sangka-sangka. Biarlah masjid ini menjadi saksi cinta kita berdua,” ujar Alfin dengan nada serak setengah menangis.
            “Kalo begitu aku pulang dulu, karena aku harus bersiap-siap,” ujarnya lagi.
            ”Assalamuaalaikum,”pamit Alfin.
            “Waalaikumsalam.”
            Untung saja di masjid itu guru ngaji Aisyah sedang ada keperluan, tidak ada ngaji. Jadi Aisyah bisa puas bicara dengan Alfin. Hampir satu jam mereka bertemu di masjid itu.
Aisyah pun tidak dapat menahan air matanya karena tidak bisa bertemu lagi dengan Alfin. Aisyah pun langsung pulang meninggalkan kenangan yang manis. Namun akhirnya begitu pahit ia rasakan.
            Setibanya dirumah , Aisyah langsung masuk ke kamarnya dengan wajah yang murung. Uminya merasakan ada yang lain dengan anaknya. Lalu ia menghampirinya. Ia menanyakan  apa yang dirasakan anaknya. Seraya ia  melanjutkan permintaannya yang pernah diutarakan beberapa saat yang lalu.
            “Nak mau tidak mau kamu harus mau dijodohkan dengan anak teman abimu itu,” pinta uminya.
            ”Tapi umi, Aisyah tidak mau dijodohkan dengan orang yang tidak Aisyah kenal,” jawab Aisyah setengah mengelak.
            “Sudahllah Aisyah umi dan abi-mu sudah terlanjur berjanji kepada nenekmu, kalau kita punya anak perempuan. Kami harus menjodohkannya dengan cucu kakak sepupu nenekmu. Umi harap kamu bisa menerima penjodohan ini. kami berencana untuk mempertemukan kalian nanti,” uminya menjelaskan.
            Dengan berat hati Aisyah menerima permintaan itu.  Sebenarnya Aisyah sejak kecil tidak pernah membantah apa yang menjadi kemauan oraangtuanya.  Tapi entah mengapa kali ini ia sedikit menolak permintaan uminya, meskipun akhirnya ia terima dengan terpaksa.
            Matahari sudah mulai menepi. Tak lama lagi azan magrib akan terdengar. Burung- burung sudah mulai kembali ke sarangnya. Pertanda sebentar lagi malam akan tiba. Sementara itu Alfin baru saja tiba di rumah kakeknya.
            “Alfin  sudah pulang?” sapa kakek yang sejak tadi sebenarnya sudah menunggunya.
            “Ya, Kek. sudah capek muter-muter keliling desa ini,” jawab Alfin sedikit berbohong.
            “Bagaimana, sudah puas?” lanjut kakek.
            “Sudah, Kek,” jawab Alfin sambil tertawa kecil dalam hatinya.
            “Silakan duduk, kakek ada perlu!” pinta kakek dengan suara yang sudah kentara bahwa umurnya sudah lanjut.
            “Ya, Kek,” jawab Alfin penuh penasaran.     
            “Begini, ada hal penting yang ingin kakek sampaikan kepada kamu, Alfin.”           
            “Hal penting apa, Kakek ?” tanya Alfin penasaran.
            “Begini,  orangtuanu berencana menjodohkanmu dengan anak teman baik ayahmu. Dulu waktu ayahmu kecil, berteman baik dengan orang itu. Sekarang teman ayahmu itu mempunyai seorang anak gadis,” pinta kakek.
             “Tapi saya tidak mau dijodoh –jodohkan , Kek!” sela Alfin memotong pembicaraan kakeknya dengan suara setengah kesal.
            “Sebentar, dengar dulu!” kata kakek berusaha meredakan emosi Alfin.
            “Pokoknya Alfin tidak mau dijodoh-jodohkan, titik,” kata  Alfin sambil tangannya memukul meja.
            “Alfin kan sudah besar, Kek.  Alfin tidak mau dijodoh-jodohkan seperti kebanyakan anak di desa. Biarkan Alfin akan memilih pilihan Alfin sendiri, tanpa dijodohkan oleh siapa pun,” lanjut Alfin dengan suara rada keras.
            Alfin sepertinya tetap pada pendiriannya, ia tidak mau dijodoh-jodohkan.  Alfin sama sekali tidak ingin menjadi korban sebagaimana anak orang desa yang menjodohkan anaknya menurut kemauan orangtuanya. Alfin memiliki pendirian bahwa masalah jodoh itu tergantung
pada yang bersangkutan. Bukan dipaksa-paksakan.  
            Keesokannya Alfin berangkat pulang, dia berpamitan kepada Sofyan dan kakenya. Ia meninggalkan  kampung halaman tempat ayahnya dilahirkan. Setiba dirumahnya, Alfin langsung  masuk ke dalam kamarnya.
            “Alfin,  jam berapa kamu datang,” sapa ibunya yang baru datang dari kantornya.
            “Sekitar pukul 10.00, Ma,” jawab Alfin yang kelihatan masih lesu.
            Kemudian ibunya menbawakan segelas air putih.
            “Ini minum dulu, kamu terlalu payah dalam perjalanan,” kata mamanya.
            “Bagaimana kabar keluarga di Madura?”  lanjut mamanya.
            “Baik-baik, Ma,” jawab Alfin singkat. Dia tidak mau menceritakan hal yang diminta oleh kakeknya.  Alfin tidak ingin hubungan keluarga yang sudah lama terjalin baik,  retak hanya  karena masalah sepele itu. “Biar masalah ini akan aku simpan sendiri,” bisiknya dalam hati. Alfin menarik nafas dalam-dalam. Seakan ada sesuatu yang berat di hatinya.
            Suasana hening. Alfin tak banyak bercerita. Mamanya juga memaklumi, mungkin anaknya masih dalam keadaan payah. Namun mamanya ingin segera menyampaikan apa yang kemarin disampaikan lewat telepon oleh kakekknya.
            “Nak , mama ditelepon kakekmu kemarin?”  kata mamanya menghapus keheningan.
            ”Ada apa, Ma?”  tanya Alfin penasaran.


.”Fin nanti malem kita akan kerumah teman ayahmu”.Ujar ibunya, Alfin gak mau bu!!!”. Jawab Alfin.”pokoknya kamu hharus mau!!!”.Tegas ibunya .”Terserah ibulah!!!”.Jawab Alfin.
            Malam pun tiba Alfin sudahh siap.”Fin kamu sudah siap?”.Tanya ayahnya. “Iya pa”. Jawab Alfin.Kalo begitu ayo berangakat , nanti takut terlambat”.Di tenagh perjalanan Alfin pun merasa heran,karna dia melewati jalan yang sama waktu berlibur kerumah kakeknya di desa.
            Sementara itu , Aisyah jadi bingung apa yang ia lakukan.Dia pun berfikir andai saja pria yang akan dijodohkan dengannya adalah Alfin pasti dia akan menerima perjodohan dengan senang hati.Tidak lama kemudia tamuyang di tunggu dating akhirnya diapun langsuns keluar dari kamarnya untukmenyambut kedatangan mereka.Setelah mmembukakan pintu dia begitu terkejut ketika pria yang ada didepannya itu adalah Alfin.Begitu juga dengan Alfin,dia tidak menyangka bahwa wanita yang akan dijodohkan dengannya ialah orang yang dicintainya hatinyapun senang bercampur kaget.Kemudian Aisah mempersilahkan mereka duduk .Setelah itu abi Aisyah berkata.” Begini ,Aisyah tidak menyetujui perjodohan ini”. Kata abi-nya.”Nggak kata siapa , Aisyah mau dijodohin, tegas Aisyah. ”Iya yah Alfin juga setuju”  lanjut Alfin.”Kok kalian kompak , apa kalian sudah sling kenal ,bener Alfin?” Tanya abi Aisyah.”Ya, kami kenal waktu Alfin berlibur  ke rumah kakek”.Jawab Alfin.merekapun tertawa bersama mendengar cerita daari keduanya.Akhirnya mereka dapat dipersatukan atas kehendak tuhan karena , ketika tuhan berkehendak tidak satupun manusia ddapat mengubahnya.


                                   

KARYA        :         1. JAU   HELMIYA
                                                                    2. SITI NUR MAIMUNAH

0 komentar: