TERJEMAHAN
MENU TANBAHAN
- Prota
- Promes
- B S E
- Materi Pelajaran
- Soal Latihan
- Artikel
- KBBI
- Soal Online
- Blog
- Daftar Anggota
LINK EDUKASI
ARSIP BLOG
PENGIKUT
Pengunjung
Diberdayakan oleh Blogger.
Selasa, 01 Januari 2013
6:00:00 AM |
Diposting oleh
mgmpbin@blogspot.com
SEKILAS TENTANG TAHUN BARU MASEHI
Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender
tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1)
Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius,
7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12)
December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis”
dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).Sementara
pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan
“Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk
Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara
resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender
Gregorian.
Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa
Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan
dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa
penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun
yang baru. Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu
biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya
libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam
upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru.
Sejak
saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret,
tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada
tanggal 1 Januari 45 SM.
SEBUAH RENUNGAN TENTANG MERAYAKAN TAHU BARU
Perayaan tahun baru ternyata
bukan sesuatu yang baru, bahkan ternyata itu adalah budaya yang sangat
kuno, beberapa umat melakukan. Perayaan itu, diantaranya adalah hari
raya Nairuz, dalam kitab al Qomus. Nairuz adalah hari pertama dalam
setahun, dan itu adalah awal tahun matahari.
Orang-orang Madinah dahulu pernah merayakannya sebelum kedatangan Rasulullah. Bila diteliti ternyata ternyata itu adalah hari raya
terbesarnya orang Persia bangsa Majusi para penyembah api, dikatakan
dalam sebagian referensi bahwa pencetus pertamanya adalah salah satu
raja-raja mereka yaitu yang bernama Jamsyad.
Ketika Nabi datang ke Madinah beliau mendapati mereka bersenang–senang merayakannya dengan berbagai permainan, Nabi berkata: ‘Apa dua hari ini’, mereka menjawab, ‘Kami biasa bermain-main padanya di masa jahiliyah’, maka Rasulullah bersabda:
Para pensyarah hadits mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua hari yang sebelumnya mereka rayakan adalah hari Nairuz dan hari Muhrojan [Mir’atul mafatih]
Di samping majusi, ternya orang-orang Yahudi juga punya kebiasaan merayakan awal tahun, sebagian sumber menyebutkan bahwa perayaan awal tahun termasuk hari raya Yahudi, mereka menyebutnya dengan Ra’su Haisya yang berarti hari raya di penghujung bulan, kedudukan hari raya ini dalam pandangan mereka semacam kedudukan hari raya Idul Adha bagi muslimin.
Lalu Nashrani mengikuti jejak Yahudi sehingga mereka juga merayakan tahun baru. Dan mereka juga memiliki kayakinan-keyakinan tertentu terkait dengan awal tahun ini. [Bida’ Hauliiyyah]
Tidak menutup kemungkinan masih ada umat-umat lain yang juga merayakan awal tahun atau tahun baru, sebagaimana disebutkan beberapa sumber. Yang jelas, siapa mereka?, tentu, bukan muslimin, bahkan Majusi penyembah api nasrani penyemabah Yesus dan Yahudi penyembah Uzair.
Lalu, kenapa muslimin menghidup-hidupkan sesuatu yang telah dimatikan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Kata Ibnu Taimiyyah, Allah Subhanahuwata’ala mengganti (Abdala) konsekwensi dari kata Abdala (menggati) adalah benar-benarnya terhapus hari raya yang dulu dan digantikan dengan penggatinya, karena tidak bisa berkumpul antara yang menggati dan yang digantikan.
Tapi, kenyataannya justru tetap saja umat ini merayakan tahun baru, melanggar sabda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, sungguh benar berita kenabian Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam
Kaum muslimin…
Belum lagi, apa yang mereka lakukan dalam perayaan tahu baru? Bukankan berbagai kemungkaran yang sangat bertolak belakang dengan ajaran agama. Kalau kita dari jenis orang yang pobhi dengan ajaran agama, bukankah dalam acara itu banyak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan, adab, sopan santun, kehormatan jiwa dan berbagai kemuliaan-kemualiaan yang lain.
Hampir semua atau semua yang terjadi adalah kerendahan dan kehinaan martabat manusia apalagi martabat muslim. Tentu kita semua, sebenarnya menyadari akan hal itu, lalu kapan kita akan meninggalkannya, mengapa masih saja memeriahkan acara tersebut, tidakkah kita kembali saja kepada kehormatan kita dan kemulian kita serta tentunya ajaran agama kita.
Bersihkan dari bercak-bercak perayaan tahun baru, joget, pentas musik yang identik dengan kerendahan moral, minuman-minuman keras dan obat-obat terlarang, pembauran antara lawan jenis yang merusak moral, sampai pada pesta hura-hura dengan pakaian minim, pamer aurat, pacaran dan perzinaan, apakah kita menginkari terjadinya hal itu?
Berbagai sumber berita menyebutkan bahwa penjualan alat kontrasepsi baik kondom atau yang lain meningkat tajam dari tahun ke tahun menjelang perayaan malam tahun baru. Miris, kenyataan yang memperihatinkan, inikah moral bangsa kita, dimana susila dan dimana ajaran agama? Bila kita seorang muslim atau muslimah tidakkan takut dengan ancaman Allah Subhanahuwata’ala , Nabi shallahu alaihi asallam bersabda
Juga, …
Marilah ini jadikan bahan renungan kita. Masihkan kita akan menodai dirikita sendiri ?
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah Subhanahuwata’ala dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya (Yahudi dan Nashrani), kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.[QS :al Hadid:16]
Ingat, kita sebagai pendidik harus bisa meluruskan hal-hal yang telah melampaui batas, menyimpang dari hakikat kebenaran yang seharusnya perlu kita tegakkan. Ini adalah tugas kita, semoga Allah masih tetap memberikan hidayah kepada kita untuk menegakkan kebenaran.
Ketika Nabi datang ke Madinah beliau mendapati mereka bersenang–senang merayakannya dengan berbagai permainan, Nabi berkata: ‘Apa dua hari ini’, mereka menjawab, ‘Kami biasa bermain-main padanya di masa jahiliyah’, maka Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ
بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua
hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya yaitu hari raya Idul Adha
dan Idul Fitri. [Shahih, HR Abu Dawud disahihkan oleh asy syaikh al Albani]بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر
Para pensyarah hadits mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua hari yang sebelumnya mereka rayakan adalah hari Nairuz dan hari Muhrojan [Mir’atul mafatih]
Di samping majusi, ternya orang-orang Yahudi juga punya kebiasaan merayakan awal tahun, sebagian sumber menyebutkan bahwa perayaan awal tahun termasuk hari raya Yahudi, mereka menyebutnya dengan Ra’su Haisya yang berarti hari raya di penghujung bulan, kedudukan hari raya ini dalam pandangan mereka semacam kedudukan hari raya Idul Adha bagi muslimin.
Lalu Nashrani mengikuti jejak Yahudi sehingga mereka juga merayakan tahun baru. Dan mereka juga memiliki kayakinan-keyakinan tertentu terkait dengan awal tahun ini. [Bida’ Hauliiyyah]
Tidak menutup kemungkinan masih ada umat-umat lain yang juga merayakan awal tahun atau tahun baru, sebagaimana disebutkan beberapa sumber. Yang jelas, siapa mereka?, tentu, bukan muslimin, bahkan Majusi penyembah api nasrani penyemabah Yesus dan Yahudi penyembah Uzair.
Siapa yang Kita Ikuti dalam Perayaan Tahun Baru Ini?
Lebih dari itu, ternyata perayaan tahun baru ini telah dihapus oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, bukankah anda ingat hadits di atas?, Nabi menghapus perayaan Nairuz dan Muhrojan dan mengganti dengan idul Fitri dan Adha.Lalu, kenapa muslimin menghidup-hidupkan sesuatu yang telah dimatikan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Kata Ibnu Taimiyyah, Allah Subhanahuwata’ala mengganti (Abdala) konsekwensi dari kata Abdala (menggati) adalah benar-benarnya terhapus hari raya yang dulu dan digantikan dengan penggatinya, karena tidak bisa berkumpul antara yang menggati dan yang digantikan.
Tapi, kenyataannya justru tetap saja umat ini merayakan tahun baru, melanggar sabda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, sungguh benar berita kenabian Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam
« لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ ، وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ » .
قُلْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ »
“Benar-benar kalian akan mengikuti jalan-jalan orang yang sebelum
kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga bila
mereka masuk ke lubang binatang dhob (semacam biawak), maka kalian juga
akan memasukinya. Kami berkata: Wahai Rasulullah Yahudi dan nashrani? Beliau berkata: Siapa lagi?.” [shahih, HR al Bukhori Muslim dan yang lain]بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ » .
قُلْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ »
Kaum muslimin…
Belum lagi, apa yang mereka lakukan dalam perayaan tahu baru? Bukankan berbagai kemungkaran yang sangat bertolak belakang dengan ajaran agama. Kalau kita dari jenis orang yang pobhi dengan ajaran agama, bukankah dalam acara itu banyak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan, adab, sopan santun, kehormatan jiwa dan berbagai kemuliaan-kemualiaan yang lain.
Hampir semua atau semua yang terjadi adalah kerendahan dan kehinaan martabat manusia apalagi martabat muslim. Tentu kita semua, sebenarnya menyadari akan hal itu, lalu kapan kita akan meninggalkannya, mengapa masih saja memeriahkan acara tersebut, tidakkah kita kembali saja kepada kehormatan kita dan kemulian kita serta tentunya ajaran agama kita.
Bersihkan dari bercak-bercak perayaan tahun baru, joget, pentas musik yang identik dengan kerendahan moral, minuman-minuman keras dan obat-obat terlarang, pembauran antara lawan jenis yang merusak moral, sampai pada pesta hura-hura dengan pakaian minim, pamer aurat, pacaran dan perzinaan, apakah kita menginkari terjadinya hal itu?
Berbagai sumber berita menyebutkan bahwa penjualan alat kontrasepsi baik kondom atau yang lain meningkat tajam dari tahun ke tahun menjelang perayaan malam tahun baru. Miris, kenyataan yang memperihatinkan, inikah moral bangsa kita, dimana susila dan dimana ajaran agama? Bila kita seorang muslim atau muslimah tidakkan takut dengan ancaman Allah Subhanahuwata’ala , Nabi shallahu alaihi asallam bersabda
إذا ظهر الزنا و الربافي قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله
”Tidaklah nampak pada sebuah daerah zina dan riba melainkan mereka telah menghalalkan adzab Allah untuk diri mereka” [Hasan, HR Abu Ya’la, al Hakim dan dihasankan oleh Asy Syaikh al Albani]Juga, …
لم تظهر الفاحشة في قوم قط
حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الأوجاع التيلم تكن في أسلافهم
“Tidaklah tampak pada suatu kaumpun perbuatan keji (zina, homoseks)
sehingga mereka menampakkannya melainkan akan menyebar ditengah-tengah
mereka penyakit-penyakit yang tidak pernah ada pada umat sebelumnya”
[Sahih, HR al Baihaqi, disahihkan oleh asy syaikh al albani]حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الأوجاع التيلم تكن في أسلافهم
Marilah ini jadikan bahan renungan kita. Masihkan kita akan menodai dirikita sendiri ?
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah Subhanahuwata’ala dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya (Yahudi dan Nashrani), kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.[QS :al Hadid:16]
Ingat, kita sebagai pendidik harus bisa meluruskan hal-hal yang telah melampaui batas, menyimpang dari hakikat kebenaran yang seharusnya perlu kita tegakkan. Ini adalah tugas kita, semoga Allah masih tetap memberikan hidayah kepada kita untuk menegakkan kebenaran.
Salam : JawaM@dura.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar